Delapan Tahun Melukis Bunyi : Sebuah Perjalanan Seorang Komposer Ugal-Ugalan

Tulisan ini saya buat setelah pertunjukan October Meeting Highlight Concert: S8WINDU, sebuah pertunjukan musik yang menampilkan komposisi-komposisi karya Jay Afrisando selama sewindu berkarya, dari tahun 2011 hingga 2019.

Berhubung saya adalah istrinya, tentu saja akan ada bias dalam tulisan ini (bias-bias cinta! Pret!! HAHAHA) maka tulisan ini bukanlah 100% objektif, melainkan catatan pribadi saya sebagai teman, teman kerja, dan istri Jay Afrisando. Jadi ya gitu, nggak usah serius-serius amat. Hehehe!

Sepuluh tahun lalu, sekitar pertengahan 2009, saya kenal Jay Afrisando. Saat itu saya mengenalnya sebagai “Jay ISI” atau “Jay temannya Erson dan Sita”. Ya memang karena saya hanya kenal sambil lalu saja sebenarnya.

Jay yang saya kenal saat itu adalah seorang pemain saksopon, yang mayoritas musik yang dibawakannya adalah jazz, dan seseorang yang cita-citanya sederhana: ingin membuat orang yang mendengarkan dia bermain saksopon jadi meleleh hatinya. Saya sih cuma komentar, “sak bahagiamu, brooooo…” HAHAHA

Saya tidak terlalu banyak tahu sebelumnya tentang sepak terjangnya dalam bermusik. Hingga suatu hari di tahun 2011, Jay bertanya kepada saya. “Kamu suka nulis kan? Aku boleh bikin tulisanmu jadi musik gak?”

Dari situ lah lahir lima komposisi karya musik puisi yang diterbitkan dalam album Membuatku Cinta. Tahun 2011 menjadi tahun pertama Jay Afrisando menyebut dirinya komposer (walau sebelumnya udah bikin-bikin komposisi juga dalam kapasitasnya sebagai mahasiswa jurusan komposisi musik).

Meskipun komposisi dalam album tersebut sesungguhnya adalah musik puisi, namun Jay menghadirkannya dalam bentuk yang agak beda dengan musik puisi lainnya. Mungkin karena dasarnya Jay banyak memainkan musik jazz, jadi musik puisi yang ada dalam album tersebut lebih terdengar jazzy.

Di tahun 2011 itu Jay juga membuat karya-karya musik puisi lainnya yang temanya masih banyak ke arah cinta (meskipun tidak selalu cinta antara dua manusia), dengan musik yang jazzy dan cukup easy listening. Tidak disangka juga ternyata karya yang berjudul Sederhana Itu Cinta Kita, yang di dalam album Membuatku Cinta dinyanyikan oleh Bawien Panggalih dan diiringi suara piano yang dimainkan Gilang Adhyaksa banyak diterima masyarakat di Jogja. Bahkan pernah menjadi jawara chart radio lokal di Jogja.

 

 

 

 

 

 

Ada rasa bangga juga ketika saya berbelanja di salah satu supermarket di Jogja dan mendengar lagu itu diputar. Bahkan salah satu teman saya bilang, kalau karya tersebut pernah juga dinyanyikan di salah satu acara pencari bakat di TV. Sayangnya saya nggak nonton hehehee.

Di tahun yang sama juga Jay menyelesaikan kuliahnya dengan tugas akhir berupa karya musik puisi yang dibawakan dengan format big band. Ya setidaknya Jay akhirnya lulus kuliah dengan bahagia meskipun sebelumnya dia sempat malas-malasan kuliah dan sempat beradu argumen dengan saya yang saat itu berprofesi sebagai pengajar di kampus lain. Saya cuma berpesan, “ya kalau kamu merasa kuliah tuh gak penting, setidaknya kebahagiaan orang tuamu tuh penting. Mereka pasti pingin lihat kamu wisuda.”

Kami tidak pernah menyangka kalau sekian tahun sesudahnya Jay berubah 180 derajat dan menikmati kuliah pasca sarjananya di Minnesota.

Tahun 2012, waktu itu kami sudah berubah status dari sekadar “temannya teman” menjadi pacar. Jay masih sama. Masih berkarya di jalur musik puisi. Saya mengusulkan bahwa ada baiknya dia lebih banyak membuat karya dari tulisan orang lain juga. Jika terjebak dengan tulisan-tulisan saya, takutnya terjebak romantisme dan karyanya tidak berkembang.

Jay menerima usul saya dan munculah album kedua Jay & Gatra Wardaya yang berjudul “Tanda Hati”. Dari situ pula mulai terlihat bakat ugal-ugalan Jay Afrisando. AHAHAHA

Dalam album tersebut, ada 3 karya yang cukup easy listening, 3 karya yang akan membuat kita bertanya “ini apaan ya?”, dan 3 karya yang sungguh mbuh lah ugal-ugalan. Tapi begitulah Jay Afrisando, ugal-ugalan.

Mana yang lebih disukai orang ya kembali lagi ke selera masing-masing. Jay tidak memaksa orang untuk selalu suka dengan karyanya, berharap selalu disukai pun tidak. Jay hanya berharap orang mau mencoba “racikan” barunya seperti mencoba makanan baru yang belum pernah dinikmati sebelumnya. Perkara habis itu suka atau tidak, bebas aja.

Selama tahun 2013 hingga 2014, Jay masih terus berkarya dan mempertemukan karyanya dengan para pendengarnya. Prinsipnya satu: setiap karya ada pendengarnya, kalau belum ketemu ya dicari, kalau tidak ada ya dibuat.

 

 

 

 

Dengan prinsip tersebut pula Jay mencoba membuat ruang-ruang di mana dia bisa mempertemukan karyanya dengan para pendengarnya, baik itu dengan membuat pertunjukan karya yang ditampilkan secara cuma-cuma (dan nombok biaya produksi dll), ataupun membagikan album Jay & Gatra Wardaya dengan gratis. Tidak jarang itu berarti menghabiskan uang tabungannya (dan uang tabungan saya). Pernah ada omongan, “buat apa sih kalian kayak gitu, bukannya dapat duit tapi malah buang-buang duit.”

Tapi Jay adalah orang yang percaya dengan karyanya dan percaya duit itu udah ada jalannya sendiri. Kebetulan bagi saya yang punya banyak teman yang bergelut di bidang start up, jadi udah biasa lihat orang ‘bakar uang’. Jadi yaaaaa saya cukup paham apa yang dilakukan Jay (dan cukup paham kenapa saya juga ikutan bakar uang). Mungkin karena cinta, mungkin juga sebenarnya saya percaya atas karyanya. Mungkin juga terlalu bebal ketika orang bilang kami bodoh. Hehehe

Tahun 2014 kami menikah dengan segala keterbatasan yang ada. Di rumah petak yang besarnya bahkan tidak lebih besar daripada kamar saya di rumah orang tua saya, kami berbagi tawa, bekerja, dan bermimpi.

Di rumah petak itu pula Pak Jay (setelah menikah dia lebih suka dipanggil sebagai “Pak Jay”) berkarya dan berusaha mengenalkan karyanya lebih jauh. Setidaknya ada 10 proposal pengajuan pentas di festival dan juga pendaftaran residensi. Semuanya tidak ada hasil. Bahkan ikutan lomba komposisi pun tidak ada yang tembus. Padahal untuk pendaftarannya cukup banyak juga yang kami keluarkan, belum lagi biaya produksi karyanya.

Tapi kami percaya, mbuh nanti gimana jalannya, apa yang diusahakan Pak Jay akan ketemu dengan hasilnya.

Pertengahan tahun 2014, ada secercah cahaya. HALAH!! Pak Jay terpilih untuk ikut program fellowship di Korea Selatan selama 5 bulan. Di sana kami banyak bertemu teman-teman baru dan membuka lebih banyak wawasan dan kesempatan Pak Jay untuk berkarya, dan juga ternyata membuatnya makin mantap menjalani jiwa ugal-ugalannya.

Tahun 2015 adalah tahun yang cukup sibuk. Selain dapat kesempatan untuk mengikuti residensi musik di Amerika Serikat dan pentas tur di beberapa kota di area West Coast Amerika Serikat, karya Pak Jay juga mulai banyak dimainkan di tempat lainnya, termasuk di New South Wales, yang bahkan kami belum pernah ke sana.

 

 

 

Di tahun yang sama juga Pak Jay menjadi juara 2 lomba komposisi Prix Annelie de Man di Belanda. Pertama kalinya saya tahu kalau lomba komposisi internasional gitu tuh ya banyak juga ya hadiahnya. Ups!

Semakin banyak pengalamannya berkarya, semakin ugal-ugalan Pak Jay dalam bermusik. Tapi dalam prosesnya, Pak Jay mencatat bahwa musik yang konseptual, yang tidak terlalu easy listening, bukan berarti jauh dari para pendengar. Pendengar bisa didekati dan bisa didekatkan.

Dari situ Pak Jay mulai banyak berdiskusi tidak hanya dengan teman sesama komposer dan musisi, juga dengan para pendengar. Gantian mendengarkan apa yang ingin mereka katakan. Bukan berarti menyerah pada keinginan pasar, tapi justru untuk menciptakan pasar atau setidak sekadar jalan-jalan di pasar, kalau jodoh ya ketemu yang diinginkan.

Workshop musik bersama Hoshizora
Bukan cuma kepada sesama orang dewasa, Pak Jay juga berbagi musik dan ide dengan anak-anak.

Ketika di Korea Selatan tahun 2014, Pak Jay bertemu dengan Prof Lubet dan beliau bertanya pada Pak Jay, “kamu apa nggak pingin lanjut kuliah di Amerika?”

Jawaban Pak Jay sih sederhana, “ya kalau ada uangnya.” Polos banget ya? HAHAHA

Atas berkah kasih sayang Gusti Allah, di tahun 2016 kami pindahan ke Minnesota dan Pak Jay memulai kuliah di jurusan komposisi musik University of Minnesota di bawah bimbingan Prof Lubet, dengan beasiswa dari LPDP. Meskipun diawali dengan perjuangan berat dan ugal-ugalan di 14 hari pertama kami pindahan ke Minnesota, tapi Alhamdulillah Pak Jay berhasil menyelesaikan kuliahnya di tahun 2018.

Selama masa kuliah S2 ini Pak Jay banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari para professor dan kampusnya. Selain itu juga mendapatkan kesempatan menerima penghargaan Minnesota Emerging Composers Award dari American Composers Forum yang sedikit-banyak membukakan pintu Pak Jay untuk memperkenalkan karyanya untuk publik di Minnesota, lewat pementasan tunggal, karya instalasi tunggal di perpustakaan umum dan stasiun kereta/terminal bus Union Depot Saint Paul, Minnesota (tahun 2018), dan juga pentas-pentas lainnya.

 

 

University of Minnesota juga banyak memberikan dukungan atas karya Pak Jay, baik dalam bentuk fasilitas produksi karya maupun kesempatan untuk presentasi karya. Kesempatan-kesempatan ini makin banyak diberikan ketika Pak Jay melanjutkan studi S3 di program yang sama, kali ini dengan program beasiswa assistantship. Jadi Pak Jay ini separuh mahasiswa, separuh TKI. Kerjaannya ngajar mahasiswa S1. Hehehe

Di tahun pertama S3, Pak Jay sudah banyak didukung oleh kampus untuk mempresentasikan karyanya di tempat lain seperti di San Fransisco, New York, di Korea Selatan, dan Insya Allah sebentar lagi di Inggris. Sebuah kesempatan yang membuat kami selalu ingat bahwa tidak ada kenikmatan dari Gusti Allah yang bisa kami dustakan.

 

Apreasiasi demi apresiasi mulai diterima, termasuk baru-baru ini Pak Jay mendapatkan penghargaan dari Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat, Ambassador’s Award for Excellence 2019 bidang pendidikan. Sebuah penghargaan yang diberikan untuk pelajar dan mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat yang berprestasi di bidang akademik dan juga berkontribusi kepada masyarakat.

Selain itu juga Pak Jay mulai banyak dikenal oleh publik di Minnesota setelah informasi tentang karyanya dan juga proses kreatifnya diliput oleh media di Minnesota seperti  Classical MPR dan radio KBEM.

 

Modearn
Salah satu seri karya Jay Afrisando yang ditampilkan bersama Jay & Gatra Wardaya (2016)

Makin banyak diberi kesempatan dan dukungan, ternyata makin ugal-ugalan lah Pak Jay berkarya. Mengingat kembali karya-karya yang Pak Jay tampilkan pada October Meeting Highlight Concert: S8WINDU, keragaman karya dan ide yang dimunculkan di sana adalah salah satu bukti keugal-ugalannya Jay Afrisando. Dia bikin komposisi kayak apa aja yang dia suka. Terkadang seperti tidak ada batasan apapun. Bebas. Ugal-ugalan.

Bisa dibilang saya adalah pendengar pertama dari karya-karya Pak Jay selama dalam masa pernikahan kami. Bukan hanya menjadi pendengar pertama ketika sebuah karya sudah jadi, tapi bahkan dari mulai Pak Jay merekam suara-suara untuk materi karyanya, seperti air direbus pun saya ada di sana. (Lha wong yang ngrebus air tuh saya! Hahaha)

Tapi selalu ada elemen kejutan dalam setiap karyanya yang membuat saya kadang merasa, “eh kok bisa gini ya? Kayaknya dulu gak gitu deh bayangan saya.”

Jay & Angklung
Jay sedang merekam angklung untuk karya “Ungklang Angklung”. World Premier di Seoul, Korea Selatan, Oktober 2019.

Meskipun demikian, saya yang sesungguhnya tidak paham-paham amat urusan musik ini hanya bisa selalu mendukung dan percaya atas karyanya. Sambil membantu membuat karya anak Bantul ini didengar lebih banyak orang di lebih banyak tempat.

Saya tidak ingin terlalu banyak berkomentar tentang karyanya, karena sungguh komentar saya pastilah subjektif dan penuh bias. Tapi kalau boleh saya bilang, delapan tahun ini saya mengamati bahwa Jay Afrisando pernah mengalami masa-masa sulit dan sulit banget dalam berkarya, tapi justru dari kesulitan-kesulitan itu tumbuh jiwa ugal-ugalan tak terbendung.

Seorang pemuda yang dulu cita-citanya sekadar bisa memainkan saksopon hingga membuat hati orang-orang yang mendengarnya meleleh telah tumbuh menjadi komposer yang berdiri di atas karyanya dan membuat mata saya terbuka. “Tidak ada karya yang tidak ada audiensnya. Kalau belum ketemu ya dicari, kalau belum ada ya diciptakan.”

Teman Ugal-ugalan
Bersama teman ugal-ugalan Jay & Gatra Wardaya

Delapan tahun Pak Jay melukis bunyi, tumbuh bersama teman-teman di Jay & Gatra Wardaya, terutama Bawien Panggalih, Ignatius Made Anggoro, Okvan Pramudya, dan Leilani Hermiasih,  juga TIGA TRIO yang sama ugal-ugalannya, dan bersama mereka yang hadir dalam ruang-ruang pementasan karyanya.

Delapan tahun masih waktu yang sebentar, apa yang ada di depan sana tidak ada yang tahu. Tapi saya percaya, karya-karya Jay Afrisando akan selalu tumbuh bersama ruang, waktu, dan kita semua.

2 Comments Add yours

  1. Belum sempat ngobrol dengan Pak Jay tapi tulisan dari Bu Jay cukup membukakan wawasan saya. Terimakasih mbak. Sehat dan lancar selalu semuanya. Salam.

    Like

    1. @tey_saja says:

      Amin. Terima kasih untuk doanya. Terima kasih juga sudah menyimak. 🙂

      Like

Leave a comment