Sebagai anak Marching Band zaman old, tentu saya selalu ada keinginan nonton pentas marching band. Dua bulan lalu pas parade Home Coming sudah sempat nonton marching band kampusnya PakJay, tapi rasanya masih kurang puas kalau belum nonton konsernya.
Sebenarnya konser indoor ini dilakukan tiap tahun, jadi sesungguhnya tahun lalu pun ada dan saya sudah pingin nonton. Tapi berhubung tahun lalu kami baru dalam rangka adaptasi dan masih meraba-raba masalah pengeluaran, jadi batal nonton karena waktu itu mengeluarkan uang $60 (atau sekitar Rp 800 ribu) buat berdua, sekali nonton, itu rasanya agak berat ya. Soalnya segitu itu uang belanja saya sekitar seminggu hahahaa.
Alhamdulilah tahun ini ada sedikit tambahan rejeki, jadi ya bisa lah disisihkan untuk nonton konser marching band ini dan ternyata tidak rugi juga bayar segitu, karena seru. Energi mereka besar dan mainnya bagus, jadi yang nonton juga ikutan ketularan bersemangat.
Konser kali ini dibuka dengan lagu-lagu yang ‘Minnesota banget’ dan ‘Amerika banget’. Kenapa saya bilang Minnesota banget? Karena lagu-lagu andalan seperti Minnesota March dan Minnesota Rouser dipilih sebagai pembuka sesudah Fanfare. Di bagian Minnesota Rouser, semua yang hadir ikut berdiri dan meneriakkan yel-yel Minnesota. Pokmen kayak supporter bola gitu lah ramenya hahaha
Selain Minnesota banget, di bagian pembuka juga dimainkan lagu kebangsaan Amerika yaitu Star Spangled Banner. Para penonton juga ikutan nyanyi. Saya juga ikutan umak-umik. Bukan! Bukannya mau pindah jadi orang mamahrika, tapi emang sejak masih di Indonesia saya sudah hafal lirik lagu kebangsaan Amerika ini. Ya gimana ya, pas kuliah, saya dapat jatah presentasi analisis lagu ini. Kalau sampai eike nggak hafal ya wasalam ye kan? Mahasiswa macam apa saya? #halah
Yang bikin terharu, mereka juga memainkan lagu-lagu dari korps angkatan bersenjata mereka dan mempersilakan para anggota angkatan bersenjata, veteran, atau keluarga mereka untuk berdiri pas lagu korps yang bersangkutan dimainkan. Lalu mereka disyuting dan ditayangkan di layar di depan. Dari mulai Coast Guard sampai Marine Corps semua mendapatkan penghormatan dengan cara ini. Saya rasanya kok terharu ya. Coba ya kalau di Indonesia bisa begini juga.

Setelah itu mereka juga memainkan lagu-lagu jazz dan lagu-lagu yang ada di peringkat papan atas di Amerika. Jadi bisa dibilang ini pilihan lagunya Amerika banget gitu.
Walaupun demikian, mereka juga memainkan lagu-lagu marching band klasik, salah satunya adalah Rhapsody in Blue yang dibawakan malam itu bersama Dr. Michael Kim, direktur School of Music University of Minnesota. Yang satu ini bikin saya merinding.

Seperti halnya di pentas-pentas marching band indoor di Indonesia, konser ini juga menampilkan colorguard feature and drumline feature. Saya pribadi suka dengan drumline band ini. Energinya besar dan mereka mainnya menikmati banget.

Konser ini ditutup dengan lagu-lagu yang dipersembahkan untuk anggota mereka yang akan lulus tahun ini. Sambil membawakan lagu-lagu tersebut, ditampilkan foto anggota yang akan lulus tahun ini.
Oya, ada juga bagian alumni diundang ke depan dan bersama-sama dengan para anggota band, mereka memainkan lagu-lagu ‘kebangsaan Minnesota’ alias Minnesota Fight dan Hail! Minnesota.
Ketika mereka memainkan lagu-lagu terakhir tersebut sambil berbaris keluar, saya pikir acaranya udahan. Ternyata tidak, saudara-saudara! Mereka memainkan kembali lagu-lagu bertema Minnesota di luar gedung konser. Luar biasa! Selain tidak kenal lelah, mereka ini kayak nggak kenal dingin. Malam itu suhu di luar adalah real feel -11 derajat Celsius, tapi seperti tidak peduli dengan rasa dingin yang menusuk tulang, mereka tetap main dengan semangat.
Malam itu, kami pulang dengan bahagia. Tidak sia-sia menghabiskan waktu selama hampir 3 jam dan uang sekitar Rp 800 ribu untuk nonton pertunjukkan ini. Sambil pulang, saya jadi kepikiran untuk menyimpulkan mengapa marching band universitas di Amerika terasa beda sekali dengan yang di Indonesia.
Alasan ke-1 adalah masalah status marching band di dalam kampus. Di Indonesia, unit marching band adalah termasuk UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) biasanya ada dosen yang mendampingi sebagai pembina, namun sifatnya suka rela saja, dan tidak ada di bawah fakultas tertentu. Di sini, marching band ada di bawah School of Music, satu kampus dengan PakJay, dan ada professor serta graduate teaching assistant yang khusus bekerja untuk unit ini dan mendapatkan bayaran seperti kalau mereka mengajar di mata kuliah. Jadi memang unit ini dibina langsung dari fakultas yang bersangkutan, tentu saja termasuk dengan dukungan fasilitas dan dana.
Alasan ke-2 ini masalah anggotanya. Dilihat dari website rekrutmen anggota marching band di sini, sebetulnya tidak jauh beda dengan yang di universitas di Indonesia. Sifatnya suka rela, tidak harus dari jurusan musik, tidak harus punya pengalaman pernah main di marching band, dan tidak harus pula kuliah di kampus ini (yang kuliah di kampus lain di area Minnesota juga bisa jadi anggota).
Walaupun demikian, perlu diketahui bahwa kemampuan para calon anggota marching band sebelum masuk memang berbeda dari pengalaman saya waktu gabung di unit marching band di Indonesia. Di sini, audisi calon anggota juga termasuk mengirimkan video rekaman memainkan alat musik yang akan dimainkan ketika mereka mau gabung ke marching band. Kalau buat colorguard juga ada diminta kirim video mereka beraksi. Berarti emang dari awal mereka udah jago duluan.
Sedangkan pas saya dulu, ya boro-boro ye kan saya bisa main alatnya, lha wong pegang aja baru pas seleksi kok. Tapi diajari sih selama latihan. Nah tapi proses ngajari ini kan butuh waktu yang lama dan proses yang panjang untuk bisa sampai ke tingkat mahir. Sedangkan yang di sini, baru seleksi aja udah harus mahir. Tentu menjadi beda hasilnya ketika dipentaskan. Jadi nggak perlu minder sih sebenarnya anggota MB di universitas di Indonesia kalau nonton MB universitas di Amerika. Karena dari awal rekrutmen sudah beda. Yang penting kita-kita semangatnya membara ye kan?
Alasan ke-3 adalah masalah alat. Sebagian besar anggota marching band di sini, terutama yang main alat tiup, punya alatnya sendiri. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, mereka sudah mahir main alat musik sebelum gabung ke band ini, jadi seperti pada umumnya di sini, mereka punya alatnya sendiri. Sedangkan di unit marching band universitas di Indonesia, hampir 90% pemain tidak punya alatnya sendiri. Alat adalah milik unit masing-masing, yang kadang nih ya, gak cukup buat dimainkan anggotanya sendiri, jadi kadang harus pinjam dari unit kampus lain.
Masalah alat ini ya krusial ya. Kalau alatnya punya masing-masing, di rumah bisa latihan selalu. Tapi kalau alatnya pinjam di unit, pun kadang tidak cukup jumlahnya, tentu porsi latihan mandiri menjadi berkurang. Berhubung suami eike adalah pemain tiup yang tiap hari sebal-sebul kapan saja dia mau, saya jadi paham bedanya punya alat musik sendiri dan tidak. Tapi buat orang Indonesia, beli alat musik berharga sekian juta atau sekian puluh juta itu perih, gaes. Jangankan beli alat musik, beli ayam penyet aja mahasiswa Indonesia nggak selalu kuat. Eh itu aku sih dulu 😛
Alasan ke-4 ini klasik banget sih ya. Iya, masalah duit. Unit marching band kampus di Indonesia kebanyakan alot dapat dananya. Salah satu contohnya adalah mau beli alat baru karena yang lama udah kurang layak aja susah, kostum kadang gak ganti bertahun-tahun, cuma ditambah aksesoris ini dan itu, mau ikut kompetisi tahunan aja mesti jadi dua tahun sekali atau bahkan gak ikutan karena gak ada dananya. Di sini, dalam satu sesi pengumpulan dana saja marching band University of Minnesota ini dapat sumbangan dana $75,000 atau sekitar 1 milyar rupiah. Tentu itu di luar dana yang dikeluarkan dari kampus. Dana ini sumbangan dari alumni dan juga masyarakat umum di sini.
Alasan ke-5 adalah masalah perbedaan budaya dan ada hubungannya dengan alasan ke-2 dan ke-4. Musik barat udah jadi makanan sejak kecil buat orang barat. Jadi tidak mengherankan jika setiap tahunnya selalu ada banyak calon anggota marching band yang mendaftar jadi anggota dan mereka sudah mahir main alat musik dan baca not balok.
Budaya nyumbang almamater dan nyumbang unit kegiatan di sini adalah hal yang lumrah. Orang-orang kaya di sini hobi nyumbang, karena bisa mengurangi penghitungan pajak juga. Bukan cuma untuk marching band, tapi untuk jurusan atau fakultas di kampus tertentu, atau bahkan juga untuk organisasi di luar kampus. Ya tapi wajar sih ya, di Indonesia kan masih banyak yang berekonomi menengah ke bawah, sedangkan yang menengah ke atas pun masih banyak yang malas bayar pajak. Yang bayar pajak wajib aja males, apa lagi nyumbang kampus. Mungkin gitu kali ya? Tapi bisa jadi saya salah.
Kira-kira begitu kesimpulan dan pengalaman saya nonton konser indoor marching band University of Minnesota tadi malam. 😀
One Comment Add yours