Salah satu teman saya pernah punya proyek iseng dengan membandingkan bagaimana orang melabeli dirinya sendiri dengan apa yang diunggahnya di media sosial. Waktu itu saya melabeli diri saya sendiri sebagai, “guru galau yang terjebak dalam drama tesis”. Ya ampun, suram bener ye kan? Hahaha
Waktu berlalu, musim berganti, cara pandang kita melabeli diri sendiri pun berubah. Kalau ditanya, siapa saya? Mungkin akan saya jawab, “buruh ketik partikelir sekaligus ibu rumah tangga hemat dana”. Karena sepertinya itu adalah gambaran paling nyata tentang kehidupan saya saat ini.
Sebenarnya kegiatan saya tahun 2016 tidak banyak berubah. Masih sama seperti ketika di Jogja dan menjadi #WatikWirobrajan sejati. Iya. Saya masih jadi buruh ketik partikelir. Kenapa partikelir? Karena saya tidak punya ikatan tertentu dengan pihak tertentu, kecuali ikatan pernikahan dengan pria tampan itu #halah. Tapi saya punya ikatan batin (pret banget) terhadap pekerjaan yang saya sukai. Resminya sih saat ini saya masih bekerja untuk dua masboss di Jakarta. Bidang kerjanya jauh berbeda, tapi intinya tetap sama, ngetak-ngetik like there is no tomorrow.
Pekerjaan ini termasuk ideal buat saya, karena merupakan perwujudan dari salah satu cita-cita mulia saya buat nggak perlu mandi sebelum bekerja. Betapa mulia cita-cita saya… *dilempar sandal*
Saya berangkat ke Amerika dengan visa J2 alias visa dependent atas J1 (mahasiswa yang disponsori). Dengan visa J2, aturan imigrasi Amerika Serikat memperbolehkan saya untuk sekolah maupun bekerja (dengan mendaftarkan ijin bekerja), ya termasuk boleh keset-kesetan nggak ngapa-ngapain di rumah sih.
Saya dan PakJay sepakat bahwa saya tidak perlu bekerja di luar rumah karena saya masih membawa pekerjaan saya sebelumnya yang bisa dikerjakan di mana saja. Saya terbiasa bekerja sejak umur 16 tahun, jadi kalau tidak bekerja, hatiku hampa dan dompetku sia-sia karena nggak ada isinya hahaha.
Walaupun jika dikonversi ke dolar, transferan untuk saya tidaklah seberapa, tapi setidaknya bisa untuk tambah-tambah beli beras dan bayar asuransi (yang wajib dimiliki oleh non-imigran macem saya) yang nilainya bikin keimanan dan ketakwaan terjaga karena bakal mengucap istigfar, tahlil, tahmid, dan takbir tiap kali tagihannya datang. Biaya asuransi di Amerika Serikat besarnya macam-macam sih sesuai dengan program yang diambil. Buat gambaran saja, asuransi wajib dari kampusnya PakJay yang harus saya bayar untuk saya sendiri sekitar $1500 untuk satu semester dan itu tidak ditanggung sponsornya PakJay. Oke. Sudah ikut merasakan kepedihannya? 😛
Tidak bisa dipungkiri sih jika ingin dapur tetap mengepul, saya harus tetap bekerja. Tapi selain itu memang saya tidak ingin berhenti menjadi buruh ketik partikelir karena saya masih ingin belajar dari pekerjaan saya (yang menuntut saya banyak membaca dan memperluas wawasan) dan tentu saja karena saya kecanduan adrenalin menjelang deadline setara dengan kecanduan saya terhadap kasur dan bantal. Maka dari itu agar hidup saya tetap seimbang, keset-kesetan saya harus diimbangi dengan bekerja.

Dari awal, PakJay sudah yakin 100% bahwa saya harus ikut mendampingi dia selama kuliah di Amerika. Katanya, apapun bisa diusahakan, termasuk masalah keuangan. Sedangkan saya dulu malah ragu, jangan-jangan kalau saya ikutan malah ngehabis-habisin duit aja nih. Secara kasar sih kalau dihitung, dengan skema beasiswa yang sama, dananya akan lebih cukup untuk mahasiswa yang datang tanpa keluarga. Para jomblowan dan jomblowati gitu kayaknya akan bisa nabung lebih banyak. Setidaknya karena tidak perlu bayar asuransi untuk keluarga yang menyertai.
Tapi PakJay punya pertimbangan lain, menurut dia, akan lebih ngirit kalau saya ikutan karena kami jadi bisa menghemat biaya makan. Benar juga sih, biaya makan di sini yang paling murah sekitar $5 untuk satu orang sedangkan kalau saya masak di rumah, $5 itu bisa untuk masak 3x sehari untuk 2 porsi.

Di tempat tinggal kami yang baru, fasilitas cuci-mencuci juga pakai biaya. Sekali pakai mesin cuci biayanya $1.4 dan pakai mesin pengering biayanya $1 sekali pakai. Bisa sih dikeringkan di luar rumah, kecuali di musim salju. Bisa juga sih cuci baju di kamar mandi tanpa pakai mesin cuci, dan itu yang sering saya lakukan untuk menghemat uang sekaligus menghemat baju. Kalau dicuci pakai mesin terus bisa mudah rusak, dan beberapa baju juga tidak cocok dicuci dengan mesin cuci.
Selain masalah penghematan uang, juga masalah penghematan energi dan hati. Setidaknya drama-drama Long Distance Marriage tidak akan terjadi. Dan satu lagi, saya bisa sedikit banyak membantu kuliah dan pekerjaan PakJay langsung dari sini. Setidaknya itu yang kami inginkan, first thing first, kami datang ke sini agar PakJay bisa kuliah, jadi urusan-urusan non kuliah biar saya yang selesaikan, termasuk urusan beres-beres rumah dan bikin anggaran belanja tepat guna dan hemat dana.
Saya menikmati peran saya saat ini sebagai buruh ketik partikelir dan ibu rumah tangga hemat biaya, yang sebenarnya tidak jauh beda dengan kehidupan saya di Jogja. Mungkin itu salah satu faktor kenapa saya dan PakJay cukup cepat beradaptasi di sini, ya karena nggak jauh-jauh beda dari kehidupan kami di Jogja.
Pada akhirnya, hidup di mana saja itu sama, selalu ada tantangannya masing-masing. Tidak perlu mikir rumput tetangga lebih hijau karena rumput tetangga saya ya sama aja rumput saya. Ye kan tinggalnya di semacam kompleks rumah susun hahaha
One Comment Add yours