Dari Bangku Washington Square Park: Dunia Ini Rumah Kita Bersama

Hari Minggu itu saya duduk di sebuah taman yang bernama Washington Square Park, sambil menanti Pak Jay selesai acara konferensi hari pertama.

Saya memilih duduk di bangku di bawah pohon agar teduh. Saya buka buku yang saya pinjam dari perpustakaan di Minnesota dan mulai membaca lembar demi lembar buku tersebut. Sesekali saya berhenti membaca dan melihat sekeliling.

Ada anak-anak yang berlari-lari berkejaran dengan orang tua mereka, ada pula yang hanya berpakaian renang dan main basah-basahan di air mancur yang ada di tengah taman. Tidak sedikit juga orang-orang yang datang bersama hewan peliharaan mereka (kucing dan anjing) yang mereka sayangi seperti anggota keluarga sendiri. Ah iya, hari Minggu. Harinya keluarga!

Water Fountain Washington Square Park
Washington Square Park pagi itu..

Makin siang, makin banyak orang yang berdatangan. Kalau dari tebakan saya, ada penduduk sekitar dan ada pula turis-turis yang datang dari berbagai penjuru dunia karena lokasi ini adalah salah satu destinasi wisata terkenal di New York.

Dari semua orang yang berada di taman itu, ada yang foto-foto saja ada pula yang duduk berjam-jam membaca buku atau sekadar menikmati hari. Ada yang tua tapi banyak juga yang muda atau anak kecil.

Sekitar pukul 10:00 saya pindah duduk ke arah mendekati tengah taman, mendekatkan diri ke arah musisi yang ngamen di sana. Ada sepasang musisi yang memainkan banjo dan musik yang dibawakan adalah genre musk country yang “barat banget”. Sedangkan tidak jauh dari situ, ada seorang musisi yang lebih tua dari sepasang musisi pemain banjo, duduk memainkan erhu (alat musik gesek dari Cina). Musik yang dibawakannya ya Asia banget gitu lah.

Di sekitar saya duduk, ada banyak orang dengan berbagai rupa. Yang berkulit hitam, putih, cokelat, atau kuning, dan sebagainya. Mereka berbicara dengan aneka bahasa yang tidak saya mengerti. Mereka ngobrol dengan rombongan masing-masing dan tertawa. Lepas dan bahagia.

Di depan musisi musik country, ada seorang balita kulit putih berjoged dengan asyiknya. Tidak lama kemudian dia mengajak balita keturunan Asia untuk berjoged. Mereka tidak kenal sebelumnya, tapi mereka asyik bergoyang bersama diiringi musik, yang katanya adalah bahasa yang universal. Tidak lama kemudian, seorang ibu dan balita berkulit hitam datang. Si balita ikut gabung dua balita yang lainnya menari.

Tidak lama kemudian, para balita itu rebutan boneka lalu menangis. Tapi setelah salah satu dari orang tua mereka membagikan kue, ketiganya akur lagi. Sungguh polos.

Di seberang saya duduk, ada seorang lelaki yang memakai kippah (penutup kepala yang dipakai oleh laki-laki Yahudi). Dia duduk sambil membaca buku dan minum kopi. Sambil sesekali memandangi gerombolan balita yang sedang menari (dan juga menangis) bersama.

Suatu saat, pandangan kami bertemu dan kami saling tersenyum, kemudian kembali pada bacaan kami masing-masing. Kami, dua orang yang sangat berbeda, dari jenis kelamin, agama, suku bangsa, bahasa, dan bahkan mungkin beda yang lain-lainnya, sama-sama hanya ingin duduk, membaca, dan menikmati hari. Tidak saling menganggu, hanya saling tersenyum ketika bertemu.

Semua hal yang terlihat dan terjadi di taman itu membuat saya berpikir bahwa taman itu seperti miniatur dunia. Ada banyak orang yang sangat berbeda datang dari berbagai tempat tapi dengan satu tujuan: berbahagia.

Yang terjadi di taman itu, orang-orang berbahagia dengan cara masing-masing dengan tanpa merusak kebahagiaan orang lain. Orang-orang berbagi tempat, membuat taman itu menjadi tempat bersama, tanpa ada keiginan menguasai atau menyingkirkan orang lain. Kebahagiaan yang dibangun tidak mengorbankan kebahagiaan orang lain. Jika saja di dunia ini kita bisa selalu bersikap demikian, alangkah indahnya.

Tentu saja tidak terhindarkan adanya konflik seperti yang terjadi pada para balita itu, tapi jika orang yang lebih dewasa berusaha memberikan solusi dan memecahkan masalah, konflik bisa diselesaikan. Bukan diperpanjang. Andai saja kita semua begitu ya? Berusaha mencari solusi, bukan mempertinggi tensi.

Saya hanya bisa berandai-andai saja. Tapi ada satu hal yang saya percaya: dunia ini milik kita bersama yang harus kita jaga. Bukan, bukan dari alien atau apa. Tapi dari diri kita sendiri yang kadang ingin menang sendiri, kadang penuh iri, dan sering mempertinggi tensi tanpa mau repot cari solusi. Iya, diri kita sendiri.

Musisi Musik Country dan Syuting Film
Musisi Musik Country dan Syuting Film

Hari makin siang di Washington Square dan ada satu kejadian menarik yang ingin saya tambahkan. Siang itu ada satu rombongan orang yang sedang syuting (sepertinya untuk film). Seorang perempuan berbaju warna merah (artisnya) dan beberapa kru kamera dan sutradara. Awalnya mereka mengambil gambar dengan adegan si perempuan berbaju merah berjalan di sekitar area air mancur.

Tapi akhirnya mereka tertarik dengan permainan musik para musisi country. Mereka akhirnya mendatangi sepasang musisi itu dan menawarkan kerja sama. Para musisi tetap main musik seperti biasa, dan si perempuan berbaju merah akan berakting menjadi penonton yang menikmati musiknya.

Dari pengamatan saya yang agak kepo ini, saya melihat bahwa rombongan syuting itu memberikan uang kepada kedua musisi itu sebagai imbalan dan juga membeli CD musik para musisi itu. Tidak lupa juga mereka bertukar kartu nama.

Ah…betapa indahnya. Orang yang awalnya tidak saling kenal bisa tiba-tiba bekerja sama dan saling menguntungkan.

Andai semua orang berpikiran demikian. Andai ada lebih banyak semangat kerja sama dibandingkan semangat menjatuhkan. Andai….

Jadi kalau ditanya apa satu hal penting yang bisa saya pelajari dari duduk di Washington Square Park hari itu, saya akan bilang ini:

Kita bisa kok hidup bahagia di dunia ini tanpa harus mengorbankan kebahagiaan orang lain dan jika kita bisa sukses bersama dengan bekerja sama, mengapa kita perlu saling menjatuhkan?

Dari atas bangku di Washington Square saya menyimpulkan bahwa saya rasa kita semua akan setuju bahwa dunia ini milik kita bersama.

Jadi, mari berbahagia dengan cara kita masing-masing dengan tanpa merusak kebahagiaan orang lain, menebarkan butiran rahmah bagi alam semesta. Amin.

One Comment Add yours

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s