Beberapa orang mungkin punya kenangan masing-masing tentang Bapak, tapi buat saya hal-hal yang paling tidak akan terlupakan adalah justru hal-hal kecil yang Bapak lakukan untuk saya. Saya tumbuh bersama hal-hal kecil yang dilakukannya.
Sejak kecil, saya bukan orang yang mudah kepingin terhadap sesuatu. Tidak terlalu mudah pingin ini dan itu. Tapi saya suka lihat Bapak memancing dan ada satu kejadian kecil yang sampai sekarang selalu saya ingat.

Waktu itu saya masih kelas 1 atau 2 SD. Saya mengajak Bapak ke kolam pemancingan dengan agak memaksa, karena saya sangat ingin. Bapak pun mengiyakan dan kami menuju kolam pemancingan. Saya ingat betul Bapak berhasil menangkap setidaknya tiga ikan. Tapi Bapak melepaskan ikan tersebut sambil pura-pura tidak sengaja.
“Maaf ya mbak, ikannya lepas”.
Belasan tahun kemudian saya baru tahu kalau hari itu Bapak sedang tidak punya uang sama sekali. Karena Bapak tidak ingin mengecewakan saya, jadi Bapak tetap membawa saya ke pemancingan. Tapi Bapak melepaskan ikan hasil pancingannya karena tidak punya uang untuk membawa ikan tersebut pulang.
Waktu saya SMP kelas 1, Bapak selalu mengantar-jemput saya ke sekolah. Hingga suatu ketika keuangan keluarga kami morat-marit karena dua hal: Ibu dan Bapak sakit dan pengobatannya mahal, dan juga krisis moneter 1998. Motor Bapak dijual agar saya bisa tetap sekolah. Tapi berarti saya harus naik bus berangkat dan pulang sekolah.
Hari pertama saya naik bus ke sekolah, saya dan Bapak menunggu bus di pinggir jalan. Lalu naik bus bersama hingga sampai sekolah. Saat jam sekolah berakhir, Bapak menunggu saya di dekat gerbang sekolah. Lalu kami naik bus pulang ke rumah. Kira-kira selama tiga hari berturut-turut kami melakukannya sampai saya benar-benar berani naik bus sendiri ke sekolah.
Saat saya masuk SMA, ada banyak tugas di masa orientasi. Saya mencoba mengerjakan semua tugasnya hingga begadang. Tapi tetap saja belum selesai dan saya ketiduran. Paginya saya bangun sebelum subuh dan berencana menyelesaikan tugas saya sebisanya. Toh nanti kalau tidak selesai kan hanya dihukum push up aja, mau 100 kali pun saya jabanin. Gitu pikir saya dengan sombongnya.
Tapi waktu saya mau mulai mengerjakannya, ada satu tugas yang hilang. Saya coba cari-cari kok tidak ada. Saya mulai panik. Lalu saya kepikiran lagi, “ah udah lah…dihukum ya udah sih. Emang belum ku kerjain! HAHAHA. Lagian rese banyak amat tugasnya!”
Lalu saya dengan santai pergi ke arah dapur. Saya baru sadar kalau kamar belakang nyala lampunya. Padahal kamarnya jarang dipakai. Saya pun coba menengok ke sana. Ternyata ada Bapak yang sedang serius mengerjakan sesuatu.
Bapak sedang membubuhkan garis demi garis untuk membentuk tulisan yang menjadi salah satu tugas masa orientasi siswa di sekolah saya. Tanpa saya tahu, Bapak ternyata tahu saya belum mengerjakan tugas itu dan diam-diam berusaha membantu.
Selama saya sekolah dari SD hingga SMA (nggak ingat kalau pas TK gimana soalnya), Bapak selalu mengambil peran menyiapkan seragam. Dari mulai saya, hingga ketiga adik saya. Jadi Bapak saya ini selalu mencuci dan menyetrika seragam kami.
Kata Bapak, “terserah kalau baju yang lain, kalau baju seragam harus beres.”
Jadi Bapak itu sangat hafal seragam apa yang harus dipakai hari apa. Bahkan ketika saya sudah SMA, Bapak masih pegang peran utama dalam perseragaman. “Seragam OSIS saku dua hari Senin-Selasa, seragam OSIS saku satu Rabu-Kamis, seragam Teladan Jumat-Sabtu”.
Ketika saya sudah mulai kuliah, saya memutuskan untuk kuliah sambil bekerja karena kondisi keuangan keluarga kami agak berat karena ketiga adik saya juga butuh uang untuk sekolah. Setiap hari saya kuliah, mengajar les privat, dan mengajar di lembaga les-lesan.
Untuk menghemat pengeluaran, kadang saya memutuskan untuk jalan kaki dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajar. Setiap hari kira-kira saya berjalan 5 km. Sehingga sampai rumah, saya pasti capek sekali dan kaki pegal luar biasa.
Saya tidak suka mengeluh, saya lebih suka mencari solusi. Solusi termudah dan termurah saat itu adalah….param kocok! Iya, tua banget lah ya solusinya? Ya gimana, yang kayak counterpain gitu kan mahal ya?
Meskipun baunya kayak simbah-simbah, tapi saya suka. Agak sedikit mengingatkan saya pada Eyang. Tapi ternyata baunya cukup kuat sehingga Bapak saya bisa mencium baunya dari luar kamar saya. Jadi Bapak tahu kalau saya tiap hari kelelahan.
Jadi kadang-kadang kalau saya sampai rumah, dan sedang santai-santai nonton TV, Bapak akan bilang, “sini rebahan. Bapak pijiti.”
Iya. Bapak suka memijiti anak-anaknya. Termasuk kucing-kucing di rumah. Iya, kucing aja dipijitin, apalagi anaknya kan? Hehhee. Tidak heran kucing-kucing di rumah semua sayang sama Bapak.

Kalau saya harus mengajar les malam-malam, Bapak sering menawarkan diri untuk mengantarkan saya. Pernah suatu hari sekitar habis maghrib saya minta diantarkan Bapak ke rumah murid saya di daerah Jembatan Merah Gejayan.
Di tengah jalan, hujan rintik-rintik. Sampai di lokasi, saya bilang ke Bapak supaya segera pulang dan tidak perlu menjemput saya kalau hujan. Kalau nanti hujan deras, saya akan ke kos teman saya saja di daerah sekitaran UNY, tempat saya kuliah. Ada banyak teman saya kos di sana. Kalau udah reda hujannya saya bisa minta tolong ke salah satu teman yang punya motor untuk mengantar.
Waktu itu hujan di luar sangat deras. Sekitar 5 menit sebelum les berakhir, Bapak mengirim pesan sms, “Bapak di luar ya, mbak.”
Setelah saya menyelesaikan urusan dengan murid les saya, saya bergegas keluar. Ternyata ada Bapak di emperan rumah orang, berteduh dengan genteng yang hanya separuh menaungi tubuhnya.
Saya bilang, “kan Terry udah bilang tidak usah dijemput, Pak”
“Bapak emang tidak pulang, mbak. Dari tadi berteduh di sini saja.”
Jadi ternyata Bapak selama 90 menit berteduh di emperan rumah orang itu. Saya rasanya sangat terharu dengan apa yang dilakukan Bapak. Tidak terasa air mata saya meleleh, tapi karena ketutupan hujan ya tidak terlalu kelihatan hehehe.
Setelah saya lulus kuliah dan mengajar di kampus, Bapak masih suka mengantar saya mengajar. Bapak selalu suka mengantar saya ke tempat kerja. Katanya, “ya biar Bapak tahu aja di mana kantornya.”
Bapak saya tahu semua lokasi tempat kerja saya yang di Jogja. Tahu nama teman-teman dekat saya dari TK hingga di Minnesota. Bapak bahkan selalu berusaha “gaul” mengikuti perkembangan zaman dan kesukaan anak-anaknya.
Ketika adik saya suka lagu-lagunya Avenged Sevenfold, Bapak pasang Ringtone “Dear God” di HP-nya. Ketika adik bungsu lagi suka-sukanya perawatan wajah di salah satu salon di Jogja, Bapak dengan setia mengantarkannya ke salon dan menunggunya.
Pas saya tanya, “dari mana Pak?”
Bapak jawab singkat, “ngantar adikmu facial.”
“Emang facial itu apa, Pak?” Saya ngetes. Hehhee
“Perawatan wajah. Face kan artinya wajah tho, mbak? Ya jadi facial paling ya perawatan wajah” begitu jawab Bapak dengan lugunya. Hehehhe
Ketika saya pacaran dengan Pak Jay, dia sedang dalam masa awal-awal berkarir sebagai komposer. Jadi saya pun sibuk wira-wiri berusaha membantu karirnya, dari mengurus satu pertunjukan ke pertunjukan lain.
Bapak beberapa kali datang ke pertunjukan musiknya Pak Jay. Bahkan kadang-kadang mengajak teman-temannya bapak-bapak yang suka nyanyi-nyanyi sambil main keyboard di rumah.
Saya pernah tanya, “emang pada mudeng Pak sama musiknya Jay?’
“Ya nikmatin aja. Nggak mudeng nggak apa-apa. Eh tapi kalau kata Pak Entok sama Pak Dul, musik kayak gitu itu kayak musik-musik yang di luar negeri.” Demikian pendapat para bapak-bapak genk keyboard-an itu. HAHAHA
Tapi setidaknya Bapak berusaha selalu hadir dalam momen-momen yang penting dalam hidup anaknya. Ketika saya sibuk membantu Pak Jay meniti karirnya, Bapak pun ada.
Baru satu bulan setelah saya dan Pak Jay menikah, Papa (ayahnya Pak Jay) dipanggil menghadap Gusti Allah. Saya bilang ke Pak Jay kalau mulai saat itu, dia boleh ikutan rebutan Bapakku.
Iya, saya dan adik-adik saya hobi “rebutan Bapak”. Hobi banget bilang, “aku yang paling mirip Bapak” atau “aku yang paling disayang Bapak!”
Padahal sebenarnya, semua diperlakukan dengan sama oleh Bapak. Sama-sama disayang oleh Bapak. Bahkan Pak Jay pun sama disayangnya dengan anak-anak kandung Bapak.

Pak Jay ini sangat suka dengan “Teh Cap Bapak”, teh khas buatan Bapak yang rasanya beda dari yang lainnya. Terbuat dari campuran dua merk teh berbeda dan dengan perbandingan gula dan air yang pas. Hampir tiap pagi kalau kami menginap di rumah Bapak, Bapak membuat teh untuk dirinya sendiri dan untuk Pak Jay. Lalu mereka akan glenak-glenik entah ngomongin apa.
Ketika saya dan Pak Jay mempersiapkan keberangkatan kami ke Amerika tahun 2016, kami kehabisan uang untuk mengurus tiket, visa, dll.
Bapak tahu keadaan kami dan mengeluarkan dompetnya. Disodorkannya pada saya uang yang terlipat-lipat hingga kecil dari dompetnya. “Ini dipakai dulu.”
Hari itu Bapak meminjami saya uang Rp 400.000. Mungkin nilainya tidak begitu banyak. Tapi kami anak-anaknya Bapak tahu, kalau sampai Bapak mengeluarkan uang yang dilipat-lipat kecil banget, itu adalah uang simpanan terakhir Bapak.
Bapak menyiapkan satu renteng peniti dan satu plastik jarum petul untuk saya bawa ke Amerika. “Ini dibawa, mbak. Takutnya orang Amerika tidak jual peniti.”
Setiap kali saya mudik ke Jogja, dan akan kembali ke Amerika, Bapak selalu menyiapkan peniti dan jarum pentul untuk saya. Bahkan ketika Bapak lupa membelinya, Bapak akan minta ke adik saya, “punyamu dikasih ke mbak Terry, dik. Besok Bapak beliin lagi.”

Bapak melakukannya karena menurut beliau, Bapak tidak bisa memberi saya bekal apa-apa kecuali doa, peniti, dan jarum pentul. Yang Bapak mungkin tidak sadari, sebenarnya Bapak sudah memberi saya bekal hidup yang sangat banyak selama beliau hidup.
Tapi Bapak memang suka melakukan hal-hal kecil untuk anak-anaknya. Terakhir saya bertemu Bapak, akhir Oktober lalu, pipi saya bengkak besar habis operasi gigi bungsu. Ketika saya sampai rumah Bapak setelah dari rumah sakit, Bapak bilang, “di meja makan ada bubur. Tadi Bapak buat. Biar gampang makannya habis operasi gigi.”
Bapak saya, yang berdiri tegak saja sudah tidak mampu, yang untuk berjalan saja harus merambat berpegangan dari satu benda ke benda lain atau menyusuri tembok untuk bisa berjalan, tapi Bapak tetap pergi ke dapur dan memasak bubur untuk saya.
“Pak, jangan repot-repot. Bubur kan bisa beli pakai go-food.”
“Tapi kan rasanya beda, mbak. Buatan orang sama buatan Bapak.”
Iya sih, masakan Bapak memang enak dan entah kenapa rasanya khas gitu, beda dari masakan-masakan lain yang di warung-warung. Bahkan di warung yang enak sekalipun.

Selama saya tinggal di Minnesota, saya dan Bapak sering berkomunikasi online. Kadang jika saya lama tidak menghubungi Bapak entah karena sibuk atau hal lain, Bapak akan membuka obrolan lebih dulu. Dengan hal-hal kecil juga.
“Sedang apa, mbak? Bapak sedang ronda. Ini suguhannya tahu susur sama balok.”
“Mbak, Minneapolis itu jauh tidak dari rumah? Ada penembakan di sana. Tadi Bapak lihat di berita TV.”
“Kalau Black Friday di Minnesota itu rame kayak yang ditayangkan di TV-TV nggak? Bapak kok lihat kayak orang rebutan gitu ya?”
“Gimana shalat Eid di Minnesota, kemarin mbak? Tadi bapak lihat di TV ada liputan shalat Eid di New Jersey itu rame banget orangnya banyak.”
…..dan hal-hal kecil lainnya yang dipakai Bapak untuk membuka obrolan kami melalui WA. Bapak tidak pernah menuntut saya sebagai anak untuk harus memulai menghubungi orang tua duluan. Karena ya siapa yang kangen, ya hubungi duluan. Bahkan Bapak malah berpendapat bahwa yang di rumah yang “ngaruhke” yang merantau. Karena buat Bapak, hubungan orang tua dan anak itu bukan urusan siapa yang lebih tinggi kedudukannya, jadi tidak ada tuntutan-tuntutan berlebihan
Bapak saya mungkin bukan orang yang pernah melakukan hal-hal besar yang spektakuler atau layak mendapatkan nobel, tapi hal-hal kecil yang dilakukannya untuk keluarganya, teman-temannya, dan orang-orang yang dikenalnya, membuat hidupnya tidak terlupakan.

Hal-hal kecil yang Bapak lakukan, membekas besar di hati kami. Hal-hal kecil yang Bapak lakukan untuk kami, anak-anaknya, telah membesarkan kami menjadi kami-kami yang sekarang ini.
Selamat jalan, Pak! Tugas Bapak di dunia ini sudah selesai. Insya Allah kami akan teruskan apa yang Bapak ajarkan: melakukan hal-hal kecil yang mungkin bermakna besar untuk orang lain.