Belasan tahun yang lalu, di awal-awal saya mulai punya akun Twitter, satu pernyataan yang sering muncul di linimasa adalah “kalau kamu menjadikan hobi kamu sebagai pekerjaan, maka seumur hidup kamu akan merasa seperti tidak sedang bekerja dalam karirmu.”
Ya mungkin maksudnya karena yang dilakukan adalah hal yang disukai, maka bekerja akan terasa seperti melakukan hobi saja.
Seperti anak muda pada umumnya, saya mencoba mengikuti nasihat tersebut. Saya mulai dari satu hal yang paling saya sukai: membagikan apa yang saya tahu kepada orang lain. Jadi pekerjaan pertama dan yang paling lama saya jalani adalah mengajar.
Selain itu, saya suka membaca dan menulis, maka saya pun bekerja di sebuah penerbit. Setiap hari yang saya lakukan adalah hobi saya: menulis dan membaca.
Oh iya, saya juga suka memasak. Jadi saya dulu juga memanfaatkan hobi saya ini untuk mencari rejeki. Mulai dari jualan hasil masakan, membuka kedai makanan, promosi brand makanan, menulis ulasan kuliner, maupun menjadi copywriter untuk produk-produk kuliner.
Sekian tahun berlalu, hobi tersebut ternyata mengantarkan saya kepada pekerjaan-pekerjaan yang lain juga. Apakah berarti saya tiap hari rasanya seperti berkarir tapi tidak bekerja?
TENTU TIDAK! Jangan ngadi-adi, Anda! Hahahaha
Ketika sebuah hobi berubah menjadi pekerjaan, maka ada hal yang mesti berubah juga. Apalagi jika pekerjaan yang dilakukan tersebut berkaitan dengan orang lain. Ada yang namanya tanggung jawab.
Jadi menurut saya sih tidak 100% benar jika kita mengubah hobi kita menjadi pekerjaan, maka rasanya seperti tidak bekerja, bisa santai. Tidak juga. Karena pastinya ada tanggung jawab maupun target yang perlu dicapai.
Memang benar jika kita melakukan pekerjaan yang kita sukai, maka pekerjaan yang kita lakukan akan terasa lebih mudah. Tapi ya bukan berarti sama sekali tidak akan stress juga sih.
Hobi yang 100% hobi bebas mau dilakukan kapan saja, mau dihentikan kapan saja ya tidak masalah.
Hobi yang sudah menjadi pekerjaan, tidak bisa lagi diperlakukan demikian. Apalagi kalau sudah ditambah ada tanggungan ekonomi yang harus dipenuhi. Hobi yang telah menjadi pekerjaan, akhirnya menjadi pekerjaan juga. Tidak lagi bisa dianggap sebagai sekadar hobi belaka.
Oleh karena itu, biar tidak stress dan untuk hiburan, saya selalu punya satu hobi yang saya pertahankan sebagai cukup menjadi hobi saja. Sekadar sebagai hiburan. Sebagai penghiburan ketika sedang bosan atau stress karena pekerjaan.
Kalau sekarang, hobi saya yang benar-beran 100% sebagai hobi adalah masak-memasak. Saya masak ya masak saja. Tidak ada tekanan ataupun ekspektasi apa-apa dari kegiatan masak-memasak saya. Agak berbeda dari beberapa tahun sebelumnya yang ada harapan ekonomi dari kegiatan saya ini.

Bagaimana dengan hobi saya yang lain? Ya masih ada yang jadi pekerjaan dan ada yang di antaranya. Mau dibilang seratus persen hobi ya bukan, seratus persen pekerjaan juga bukan. Agak aneh sih. HAHAHA
Hobi yang saya maksud tersebut adalah hobi saya dalam menulis dan membaca. Di artikel blog saya sebelumnya, saya pernah bilang bahwa salah satu alasan saya menulis adalah supaya jika nanti saya tua dan ingatan tidak setajam sekarang, saya masih bisa mengingat hal-hal yang pernah saya jalani sebelumnya.
Menulis dan membaca ternyata juga menjadi terapi yang efektif buat saya. Saya bukan ahli psikologi atau psikoterapi ya, jadi ini bukan saran profesional. Hanya saja ini cukup berhasil untuk mengatasi permasalahan yang pernah saya hadapi.
Akhir tahun lalu saya sempat mengalami mental breakdown karena berbagai hal. Pandemi, jalan rejeki yang tiba-tiba agak macet, kurang tidur, sebuah masalah yang bukan masalah saya tapi saya jadi harus ikut kepikiran, dan berbagai hal lainnya adalah pencetus utama yang membuat hari-hari saya terasa berat dan tidak bersemangat. Saya seperti lumpuh. Tidak mampu melakukan hal-hal yang biasanya mudah saja saya kerjakan.
Di masa-masa paling rendah dalam hidup saya selama satu dekade ini, saya ingat satu teman saya pernah bilang, “do what you do best. Do what you like best. Seriously, what else is better than that?”
Apa hal terbaik yang bisa saya lakukan? Apa hal yang paling saya sukai? Siapa tahu itu bisa membuat saya kembali tegak lagi. Saya seperti pulang kembali kepada diri saya. Bertanya pada diri sendiri tentang hal mendasar dari diri saya. Akhirnya ketemu sih. Dua hal yang paling saya sukai dan paling jago saya lakukan: menulis dan membaca.
Paling jago ini maksudnya bukan yang muluk-muluk saya jago nulis gitu ya. Tapi di antara puluhan hal lain yang bisa saya lakukan, menulis dan membaca adalah dua hal yang rasanya paling mudah untuk bisa saya lakukan.

Bapak saya dulu bilang kalau punya anak saya adalah sebuah ujian kesabaran bagi orang tua karena harus menyimak saya bercerita panjang dan detail dari awal sampai akhir. Bos saya dulu pernah bilang kalau saya bisa menulis sambil merem.
Saya kurang tahu sih apakah itu pujian karena saya pernah mendadak diminta mengisi sebuah kolom di majalah dalam waktu hanya tidak sampai 1 jam untuk dan saya menyelesaikannya, atau sebenarnya sindiran karena kadang-kadang saya merem ketiduran di pojokan mushola kantor saat jam istirahat. Ups!
Tapi dari situ saya ingat bahwa pada dasarnya saya adalah pencerita. Satu hal yang baru-baru ini saja saya sadari. Sehingga, untuk memperbaiki keadaan saya, saya mencoba kembali ke diri saya yang paling dasar. Balik ke core of the core gitu lah. HAHAHA
Akhirnya sebagai terapi dari mental breakdown yang saya alami, saya mulai menulis setiap hari. Menulis apa saja. Baik yang mungkin saya bagikan ke orang lain, maupun hanya curhatan yang saya kirimkan kepada teman-teman dekat saya sambil ghibah.
Saya juga menyibukkan hari-hari saya dengan membaca. Membaca apa saja termasuk buku, berita, curhatan teman, dan lain-lain. Saya mengisi kekosongan-kekosongan yang saya rasakan dan menyibukkan pikiran saya dengan pengetahuan-pengetahuan baru.
Semakin besar semangat menulis saya tumbuh setiap hari selama tiga bulan terakhir ini, semakin ugal-ugalan juga minat baca saya. Saya kadang hilang dan tenggelam dalam bacaan-bacaan saya.
Menulis dan membaca ini terapi yang cukup manjur untuk saya ternyata. Awal tahun ini saya sudah merasa kembali bergairah hidup dan menemukan kembali semangat yang pernah hilang. Ternyata benar ya, untuk orang yang apa-apa dipikir seperti saya, konsep ini cocok:
Overthinking? Write!
Underthinking? Read!
Akhirnya saya malah jadi keterusan menulis dan sebagiannya telah berubah menjadi pundi-pundi rejeki. Jadi lah akhirnya terapi dan niat aktualisasi diri berujung menjadi rejeki. Alhamdulillah..
Tapi saya masih belum akan menjadikan hobi menulis dan membaca ini menjadi seratus persen pekerjaan. Setidaknya untuk saat ini. Belum tahu nanti. Untuk saat ini sih saya pikir tidak semua tulisan saya mesti harus jadi rupiah atau dolar, yang penting jadi bahagia dulu saja.
Ya karena katanya sih kalau kita bahagia, yang lain-lainnya nanti gampang! hehehe