Tujuan utama yang paling utama ke Inggris bulan lalu itu ya sebenarnya mau ke kota Leicester, lebih tepatnya ke University of Leicester, karena Pak Jay akan mengikuti konferensi pertama di dunia yang mengangkat tentang Aural Diversity sekaligus mementaskan karyanya di konferensi ini.
Jadi setelah kami sempat jalan-jalan di London, mengunjungi kota-kota kecil yang cantik bernama Bristol dan Bath, kami melanjutkan perjalanan menuju Leicester. Kami naik bus sekitar 4 jam dari Bristol menuju Leicester, hanya sempat transit sebentar di Birmingham.
Sejak tahun 2016, dari sebelum berangkat ke Minnesota, saya sudah sadar bahwa salah satu tujuan Pak Jay kuliah jurusan komposisi di University of Minnesota adalah untuk belajar komposisi musik, musik dan teknologi, serta musik dan kaitannnya dengan disabilitas.
Kadang saya berdiskusi tipis-tipis terkait materi-materi kuliahnya Pak Jay dan kadang ikutan belajar juga. Seperti ketika di University of Leicester ini. Saya memutuskan untuk ikutan juga di konferensi Aural Diversity ini. Kebetulan juga biaya partisipasinya cukup terjangkau, £25 saja atau sekitar Rp 460.000. Masih terjangkau untuk ukuran belajar hal baru dalam dua hari dari para ahli.
Sesungguhnya saya juga belum lama tahu istilah Aural Diversity ini. Intinya adalah bahwa tiap-tiap orang mendengar dengan cara yang berbeda dan dengan kemampuan mendengar yang berbeda-beda juga.
Jujur saja, sebelumnya saya hanya tahu kalau ada orang yang bisa mendengar dan ada orang yang tuli. Tapi makin ke sini saya makin sadar kalau sesungguhnya orang yang mendengar pun ada yang mendengar dengan jelas, ada yang pendengarannnya lemah sehingga kita harus bersuara keras ketika berbicara dengannya.
Begitu pula dengan orang tuli, ada yang tuli total tidak bisa dengar apa-apa dari lahir, ada pula yang dulunya bisa mendengar kemudian karena sesuatu dan lain hal menjadi tuli.
Saya juga belum lama menyadari bahwa kehilangan pendengaran, atau berkurangnya kemampuan mendengar, juga tidak selalu karena usia. Saya masih ingat Bapak saya pernah bilang kalau orang makin tua, makin bermasalah dengan yang berawalan B: Bruwet (matanya makin rabun), Budeg (pendengaran berkurang), Boyok (badannya sudah tidak bisa tegap lagi dan makin mudah sakit pinggang), dan Bingung.
Sehingga saya dulu seringnya berpikir bahwa kehilangan pendengaran itu ya wajar saja terjadi ketika kita sudah tua nanti. Tanpa saya sadari sebenarnya ada juga orang di sekeliling saya yang usianya lebih muda dari saya tapi kemampuan mendengarnya cukup berbeda dengan saya, karena ada gangguan kesehatan ketika masih kecil.
Saya juga belum lama ini berkumpul dan berbagi pengalaman bersama teman-teman tuli di Pontianak, yang membuka mata saya bahwa ada banyak hal yang tidak saya ketahui.

Mulai dari bagaimana teman-teman tuli beradaptasi dengan fasilitas yang belum banyak memperhatikan inklusivitas, hingga kenyataan bahwa tidak semua orang yang tuli memilih untuk menggunakan alat bantu pendengaran.
Banyak juga yang memilih hidup dalam kesunyian yang menurut mereka tidak terlalu membuat mereka bingung dengan segala macam kebisingan.
Dari sedikit informasi tentang keadaan mendengar yang berbeda-beda itu saya makin tertarik untuk datang dan belajar di konferensi Aural Diversity ini.
Baru di sesi pertama saja saya sudah kagum dengan konferensi ini karena sifatnya yang sangat inklusif.
Selain pemateri menyampaikan dengan slide yang ditampilkan di layar dan berbicara menggunakan pengeras suara, apa yang disampaikan oleh para pemateri juga diterjemahkan dalam bahasa isyarat Britania (BSL/ British Sign Language) dan juga dituliskan secara langsung oleh seorang stenographer yang menuliskan apa-apa yang dibicarakan pemateri dan juga audiens yang bertanya atau menyampaikan pendapat dan menampilkannya di layar.
Saya harus bilang kalau saya sangat kagum dengan mbaknya yang bertugas sebagai stenogapher tersebut. Selain bisa mengetik dengan sangat cepat dan cukup akurat, dia juga hapal sebagian besar nama-nama peserta konferensi. Sehingga ketika ada yang bertanya, misalnya namanya John, maka dia akan menuliskan nama orang tersebut beserta pertanyaannya.
Adanya penerjemah bahasa isyarat dan stenographer tersebut menjadikan materi yang disampaikan dalam konferensi lebih mudah diterima oleh seluruh peserta konferensi karena para peserta konferensi tidak semua memiliki pendengaran yang sama, tidak sedikit juga yang mengalami gangguan pendengaran.
Konferensi ini cukup lengkap menghadirkan pembicara. Mulai dari dokter bedah THT yang memaparkan masalah gangguan pendengaran dari sudut pandang kedokteran, praktisi terapi pendengaran yang dulunya dapat mendengar dengan ‘normal’ tapi saat remaja dia kehilangan pendengarannya, musisi yang kehilangan pendengarannya dan saat ini tetap berkarya dengan caranya sendiri dengan beradaptasi dengan keadannya saat ini, hingga peneliti sosial yang meneliti tentang kehidupan orang yang mengalami gangguan pendengaran di antara gegap-gempita kota tempat tinggalnya.
Banyak sekali hal yang saya pelajari dari dua hari sesi konferensi tersebut. Termasuk beberapa keadaan yang terkait dengan gangguan pendengaran, seperti tinnitus, hyperacusis, dan Meniere. Saya juga baru browsing pas di lokasi konferensi kok. Serius! Saya juga baru tahu. Hehehe
Bisa dibilang dua hari di konferensi ini adalah dua hari paling bikin kuwalahan selama hidup saya di tahun 2019 karena dalam dua hari ini saya belajar buanyaak sekali hal baru dan makin membuat saya yakin bahwa ada buanyyyak sekali hal di dunia ini yang saya tidak tahu.
Termasuk salah satu hal yang tidak saya sadari sebelumnya adalah bahwa profesi sebagai musisi adalah salah satu profesi yang rentan terhadap gangguan pendengaran karena paparan terhadap bunyi yang cenderung terus-menerus selama proses latihan dan pentas, dll.
Saya langsung menengok ke arah Pak Jay sambil memberi kode bahwa kami harus lebih sadar dalam menjaga kesehatan telinga kami karena mau tidak mau Pak Jay mencari rejeki lewat musik dan saya hampir selalu ada di saat Pak Jay membuat musik, latihan, rekaman, maupun pentas. Jadi ya saya termasuk rentan juga nih ya kayaknya. Deg-degan juga ya?
Konferensi ini juga menyadarkan saya bahwa dengan perbedaan kemampuan mendengar yang tidak terlihat, tidak seperti perbedaan fisik yang terlihat jelas misalnya pada gangguan pengelihatan atau cacat tubuh, ada banyak sekali pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan sebagai masyarakat agar lebih sadar dan bisa menciptakan kehidupan yang inklusif sehingga kita yang pendengaraannya termasuk ‘normal’ bisa hidup berdampingan dengan mereka yang mengalami gangguan pendengaran maupun tuli.
Jika kesadaran atas kehidupan yang inklusif ini sudah tumbuh dalam diri kita, harapannya sih ke depannya nanti juga berbuah pada kebijakan-kebijakan yang inklusif yang memperhatikan juga hak-hak dan kepentingan orang dengan pendengaran yang berbeda-beda. Karena hidup ini bukan tentang kita saja, tapi tentang mereka juga yang berbeda dengan kita.
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, di konferensi ini Pak Jay juga berkesempatan mempertunjukkan karya komposisi audio visualnya yang berjudul The (Real) Laptop Music :))
Karya ini sebelumnya sudah pernah ditampilkan di New York City Electroacoustic Music Festival di New York dan October Meeting di Yogyakarta, serta ditampilkan juga di Minneapolis, Minnesota sehari sesudah kami kembali dari Inggris.

Yang berbeda dari pertunjukan di tiga lokasi yang saya sebutkan di atas adalah bahwa penonton di pertunjukan di Leicester ini sangat beragam kemampuan mendengarnya sehingga Pak Jay berinisiatif menggunakan balon yang dibagikan kepada penonton yang ingin merasakan pengalaman menikmati komposisi karya Pak Jay melalui getaran yang ditangkap oleh balon yang dipegang para penonton.
Alhamdulillah karya tersebut mendapatkan banyak tanggapan positif, salah satunya karena karya tersebut dapat tersampaikan lewat media bunyi, gambar, dan getaran sehingga cukup inklusif untuk dipertunjukkan di hadapan penonton dengan kemampuan mendengar yang berbeda-beda.

Tanggapan positif ini tidak hanya berhenti hingga di konferensi saja. Beberapa tanggpan positif dari orang-orang yang punya pengaruh besar dalam konferensi tersebut juga datang bahkan setelah kami kembali sampai di Minnesota. Alhamdulillah.
Ini bisa jadi sebuah awal yang cerah untuk Pak Jay membuat karya tugas akhir kuliah S3-nya ini yang rencananya akan membuat sebuah konser musik yang inklusif, yang diperuntukkan bagi penonton dengan kemampuan pendengaran yang berbeda-beda.
Selain belajar selama dua hari penuh dan membantu Pak Jay mempersiapkan pertunjukkannya, kami juga jalan-jalan tipis di sekitar kampus University of Leicester.
Tidak jauh dari lokasi konferensi dan konser, ada sebuah taman bernama Victoria Park yang dibangun sebagai memorial Perang Dunia ke-2.
Pagi itu kami jalan-jalan tipis di taman tersebut sebelum konferensi dimulai. Semacam curi-curi waktu karena konferensinya dimulai dari pagi dan selesai hingga malam hari.
Menurut sejarahnya pun, University of Leicester yang terletak tidak jauh dari Victoria Park ini juga dibangun atas sumbangan masyarakat sekitar pasca perang dunia tersebut. Ketika masyarakat menyadari bahwa ilmu pengetahuan adalah salah satu hal penting yang tidak mudah dimusnahkan oleh perang.
Di Victoria Park ini ada jalan setapak yang diberi nama Peace Walk. Bisa jadi dibuat untuk memperingati kedamaian dunia setelah perang besar yang melibatkan banyak negara tersebut.

Meskipun hanya sebentar, saya dan Pak Jay sempat menikmati kedamaian pagi hari di antara Peace Walk di Victoria Park. Kami juga menikmati cuaca sejuk Leicester selama kami di sana.
Menurut orang Inggris sih dingin ya, bukan sejuk. Karena daun-daun yang jatuh di tanah pun membeku, tapi bagi orang Minnesota mah ini sejuk aja! HAHAHA
Akhirnya perjalanan kami lanjutkan menuju kota lain di Inggris yang akan kami kunjungi, Manchester dan Liverpool, tapi kenangan di Leicester tidak akan begitu saja saya lupakan.
Dua hari yang penuh dengan hal baru, yang membuat saya makin ingin belajar lagi mengenai Aural Diversity.
One Comment Add yours