Belasan tahun lalu saya pernah membantu teman mengadakan sebuah sesi presentasi untuk membantu persiapan mahasiswa yang mendaftar program pertukaran dan juga kuliah di luar negeri. Di salah satu presentasinya, dijelaskan bahwa akan ada setidaknya 4 (empat) fase yang akan dialami oleh seseorang yang pindah ke negara lain, baik untuk sementara maupun untuk jangka panjang.
Fase pertama adalah honeymoon alias bulan madu. Namanya juga bulan madu ya? Pasti semuanya indah. Di fase ini kita biasanya pas takjub-takjubnya. Mengagumi hal-hal yang baru kita temui di negara yang baru.
Fase kedua adalah fase shock biasanya ini sih kalau nanti sudah berhadapan dengan masalah perbedaan budaya (culture shock) dan mungkin kepentok dengan hal-hal yang berbeda dengan apa yang selama ini kita alami di negara asal, maupun ketika kita mendapati bahwa ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan yang kita bayangkan sebelumnya.
Fase ketiga adalah fase adaptasi. Ketika sudah bertemu dengan masalah-masalah nyata yang harus dihadapi, biasanya kita sudah bisa mulai beradaptasi. Kemampuan orang beradaptasi satu orang dengan yang lain berbeda-beda. Jadi untuk sampai ke fase ini juga orang butuh waktu yang beda-beda. Ada yang bisa dengan cepat bisa sampai ke fase ini, ada juga yang terjebak drama agak lama di fase sebelumnya atau fase shock.
Sedangkan fase keempat adalah fase homesick alias fase kangen rumah. Seindah-indahnya negara lain, pasti ada saatnya kita akan kangen rumah dan keluarga. Tidak perlu dijelaskan panjang dan lebar pasti udah pada tahu lah ya?
Nah kalau saya saat ini, setelah lebih dari 4,5 tahun jadi penduduk Minnesota dan sudah tiga kali juga mudik ke Indonesia, empat fase di atas sudah saya lalui semua. Saya jadi kepikiran kalau mungkin saat ini saya sedang dalam fase lain yang belum termasuk dalam 4 fase di atas. Jadi saya mau menambahkan satu fase lagi ya: fase mengambil hikmah. HAHAHA
Semua hal pasti bisa diambil hikmahnya, termasuk juga hikmah tinggal di Amerika. Ada banyak sih yang bisa saya ceritakan, mau politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain ada semua hikmahnya. Tapi untuk kali ini saya akan fokus pada mengambil hikmah dari tinggal di negara subtropis dengan empat musimnya.
Perubahan Musim dan Persiapannya
Saya ingat pada suatu hari, di sebuah petang pada musim dingin tahun 2018, saya dan beberapa teman saya sedang menunggu bus di pinggir jalan. Saya lupa tepatnya kami mau ke mana. Yang saya ingat adalah saat itu kami mengobrol sambil menahan dingin.
Seperti biasa, obrolan kami ngalor-ngidul ke mana-mana. Saya lupa entah bagaimana awalnya, tapi salah satu teman saya bilang kalau menurut artikel yang dia baca, orang-orang yang tinggal di negara empat musim biasanya lebih berpikir panjang daripada mereka yang tinggal di negara tropis karena pergantian musim dan perubahan yang cukup ekstrim membuat mereka harus bersiap-siap.
Salah satu contohnya, di Korea misalnya, orang-orang menyimpan sayur-mayur hasil panen dengan memfermentasikannya agar awet. Jadi nanti ketika musim dingin, ketika sawah-sawah tertutup salju dan mereka tidak bisa bercocok tanam, mereka bisa tetap makan sayuran. Maka jadi lah yang namanya Kimchi!
Tapi kan itu dulu ya? Zaman sekarang kan sudah banyak perubahan. Sudah ada teknologi bernama kulkas dan freezer yang bisa digunakan untuk menyimpang makanan agar lebih awet. Selain itu juga sekarang sudah ada teknologi seperti rumah kaca (greenhouse) yang dalamnya bisa diatur suhu dan kelembabannya sehingga dalam musim dingin pun orang masih bisa bercocok tanam.
Lalu apakah perubahan musim ini tetap membuat orang berpikir panjang juga? Ternyata iya. Saya pun melakukannya!
Memperhitungkan Stok Bahan Masakan
Meskipun di era modern ini bisa dibilang orang di negara empat musim pun tidak akan kehabisan bahan makanan sekalipun sawah dan ladang tertutup salju, tapi ternyata saya pun kepikiran memperhitungkan stok bahan masakan tertentu.
Salah satu contohnya adalah cabe! Sebagai orang Asia, sepertinya hampa hidup ini kalau tidak makan yang pedas-pedas ya? Meskipun jempol netijen pedas-pedas juga, tapi tidak lah nikmat senikmat sambal terasi atau oseng-oseng dengan cabe hijau. HAHAHA
Nah! Biasanya orang panen cabe di akhir musim gugur. Di Hmong Farmers’ Market di daerah sini, biasanya stok cabe akan melimpah ruah antara bulan Oktober-November. Segala jenis dan segala warna cabe ada. Harganya relatif lebih murah juga karena belinya di warung-warung milik petani yang menjual hasil panennya langsung. Di saat itu lah biasanya saya akan memborong cabe, lalu menyimpannya di dalam kulkas dan feezer. Kenapa?

Karena di musim dingin seperti sekarang ini, stok cabe tidak lah banyak. Jenisnya dan stoknya juga terbatas. Harganya pun relatif lebih mahal karena selain mengikuti hukum ekonomi ya, ketika stok terbatas maka harga naik, juga karena sudah masuk supermarket maka harganya beda kalau kita beli langsung ke petani.
Saya tidak pernah kepikiran seperti ini selama dulu di Indonesia. Ya kali mau beli cabe aja dipikirin banget? Kan bisa seminggu sekali ke pasar. Walau harganya mungkin naik-turun, tapi stok aman. Bisa dibilang tuh, aman lah. Nggak usah dipikir! Hehehe
Mempertimbangkan Isi Lemari
Selama lahir dan besar di Indonesia, jenis baju yang kita punya mungkin sekadar baju rumahan, baju kerja/sekolah, baju kondangan, baju lebaran, dan yang sejenisnya. Sepatu pun juga. Tidak perlu mempertimbangkan musim.
Kalau musim hujan datang sih yang penting punya jas hujan dan sandal jepit di cantolan motor kalau saya yaaa. Yang lainnya sih sama-sama aja mau musim kemarau atau musim hujan, ya kan? Hehehe
Hidup di negara empat musim ternyata tidak demikian. Baju dan sepatu yang kita pakai disesuaikan juga dengan musimnya. Ini bukan bicara masalah fashion ya, tapi masalah suhu dan cuaca.
Misalnya, orang pakai sepatu boots dan mantel di musim gugur itu bukan semata-mata urusan gaya, tapi memang biar tidak kedinginan. Sama juga orang pakai bennie dan syal ketika musim dingin. Bukan sekadar biar cakep fotonya kalau mau posting di Instagram, tapi juga karena biar tidak kena frostbite.
Dengan demikian, memang jadinya isi lemarinya jadi beragam, mengikuti kebutuhan untuk menyesuaikan dengan suhu dan cuaca. Tentu saja ini ada hubungannya dengan manajemen keuangan ya, karena pakaian dan sepatu untuk musim dingin biasanya relatif lebih mahal daripada pakaian dan sepatu untuk musim panas.
Selain itu juga perlu dipikirkan kapan mau belinya? Karena nih ya, kalau kita tinggal di Minnesota yang ibaratnya Winterfell-nya Amerika ini, dan nunggu kedinginan dulu baru beli jaket, masuk angin lah pasti. Hahahaa
There’s no such thing as bad weather, just bad clothes!
(Petuah orang Skandinavia—orang Minnesota kebanyakan isinya orang Skandinavia btw hehehe!)
Memperhitungkan Isi Dompet
Seperti yang saya sudah singgung di atas, bicara tentang negeri empat musim juga jadi bicara isi dompet. Pakaian dan sepatu yang dibutuhkan selama musim dingin itu seperti investasi. Sekali beli, bisa lah dipakai untuk 4 atau 5 tahun, atau bahkan lebih.
Nah tapi, musim panas yang datang tiap tahun adalah musim yang ngajakin boros. Dalam keadaan normal tanpa pandemi, biasanya di musim panas orang akan lebih banyak keluar rumah daripada di musim dingin. Ya sederhana sih alasannya, karena cuacanya lebih mendukung. Jadi benar-benar dinikmati sebelum musimnya ganti lagi.
Selain itu, musim panas juga musim libur panjang untuk anak sekolah dan anak kuliahan. Maka ini musim liburan. Saatnya jalan-jalan, kumpul-kumpul, piknik-piknik, dan datang ke acara-acara seru. Kalau saya sih, musim panas itu juga musim mudik. Jadi di musim ini, bisa dibilang nih ya, musim paling boros sepanjang tahun.
Jadi nih ya, untuk bisa menikmati musim panas dengan lebih enak, biasanya kami akan berhemat di musim-musim lainnya. Prihatin dulu gitu. Demi apa? Demi musim panas yang bahagia dan banyak haha-hihinya. Hehehe
Jadi bisa dibilang, mau menuju musim dingin dan mau menuju musim panas, dua-duanya perlu persiapan. Beda persiapannya, tapi tetap sama-sama perlu dipikirkan agak panjang.
Ini hal yang tidak pernah saya temui sebelumnya ketika tinggal di Indonesia. Sepanjang tahun ya sama aja. Paling bedanya sih kalau lebaran dapat THR, kalau akhir tahun dapat bonusan. Lainnya ya tidak ada bedanya.
Pandemi dan Berpikir Panjang
Seperti yang sudah saya tuliskan, apa yang saya ceritakan di bagian atas tadi adalah ketika keadaan normal, ketika dunia tidak dilanda pandemi seperti saat ini. Ketika pandemi datang, semuanya jadi berubah.
Mau musim dingin maupun musim panas ya saya di rumah saja. Hanya sesekali saja ke luar rumah. Tidak seperti di saat normal sering jalan-jalan (sambil kerja) ke kota-kota lain.
Tapi apa yang bisa saya aplikasikan dari hikmah tinggal di negara empat musim ini selama pandemi? Apakah ada?
Ada ternyata! Hehehe
Saya mengibaratkan pandemi ini sebagai musim dingin yang berkepanjangan seperti di Winterfell di film Game of Thrones. Berhubung saya menganggap “musim pandemi” ini seperti musim dingin, jadi saya akan prihatin dulu. Ada banyak hal yang tidak bisa dilakukan dengan leluasa saat ini, ya tidak apa-apa.
Nanti ketika pandemi sudah lewat, saya mengibaratkannya sebagai musim panas. Ketika musim haha-hihi cerah ceria tiba, ketika musim jalan-jalan, dan kumpul-kumpul datang lagi. Musim boros-borosan datang lagi. *ups!*
Jadi karena itu, maka di masa pandemi ini saya prihatin dulu, tidak masalah. Soalnya mikirnya panjang. Biar nanti ketika saatnya tiba, musim bahagia tanpa corona tiba, saya bisa maksimal menikmatinya. Ya minimal masih hidup gitu lah ya dan tidak bokek.
Karena ini ya rada ajaib sih, meskipun penghasilan saya berkurang lumayan banyak selama pandemi, ternyata tabungannya masih bisa nambah. Nah ini bisa nanti dipakai buat ke mana-mana habis beres pandeminya.
Selain itu juga beberapa kali lihat berita orang kena Covid dan dirawat di RS, lalu tagihannya satu juta dolar. Duit semua, tidak dicampur daun salam. Jadi ya lebih baik saya tidak banyak cing-cong dan banyak di rumah saja. Seperti saat musim dingin gitu lah persis.
Kesimpulannya, saya bersyukur bisa diberi kesempatan tinggal di negara subtropis dengan 4 musim yang berbeda dan bisa mengambil hikmah untuk berpikir panjang dan bersiap-siap dalam hal apapun, karena ditunjukkan bahwa keadaan dan kehidupan bisa berubah dengan ekstrim.
Selain itu, saya bersyukur juga pernah tumbuh di negara tropis dengan suhu dan cuaca yang cukup stabil, sehingga bisa hidup dengan lebih stabil.
Universe is my university!
#WatikWirobrajan
Dari keduanya, saya belajar untuk tidak lupa bersyukur ketika dilimpahi segala kemudahan dan kestabilan. Kemudian juga jangan lupa bahwa kita perlu berpikir jangka panjang dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan yang ada karena namanya kan ya, hidup siapa yang tahu? Bisa jadi ada hal-hal atau keadaan yang memaksa kita berubah secara ekstrim, pandemi ini misalnya.
Seperti semboyan saya, “universe is my university”, saya berharap saya dan kita semua bisa belajar dari apapun yang ada di dunia ini. Bahkan yang sesederhana musim yang berubah doank! Hehehehe
ngeliat fashion negara 4 musim dipake di negara 2 musim ..
sering terasa ga cocoknya 😀
LikeLike